(FGD pada 6 Juni 2018 dengan stakeholder pendidikan)

RIA Sebagai Alat Bantu Advokasi Perda di Kota Tasikmalaya

Ini memang kompromi politis, Kang,” ujar Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Tasikmalaya tiga tahun lalu (Mei 2015). Dengan runut ia bercerita, bagaimana ia dan rekan-rekannya seolah didesak dari dua arah terkait penerapan Perda yang bernuansa syariah di kotanya. “Saat Perda No. 12 2009 disahkan, bagian hukum pemkot sudah tahu bahwa itu akan batal demi hukum. Namun tidak bisa berbuat banyak. Karena ini ada aspirasi sekelompok ulama dan disetujui oleh walikota dan dewan. Maka jalanlah. Baru dikoreksi Mendagri…sempat agak ribut, tapi kemudian dinegosiasi jadi Perda Tata Nilai yang sekarang,” lanjutnya.

Pejabat daerah itu mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius di Kota Tasikmalaya, yang merupakan koreksi atas “kakak kandungnya”: Perda 12/2009 (keduanya biasa disebut dengan istilah Perda Tata Nilai). Aturan itu memang sempat ramai dan mengundang sejumlah polemik saat mendiskusikannya.

Para pegawai di pemkot bahkan sudah diwanti-wanti jangan keceplosan ngobrolin ini,” begitu kami diberitahu di bagian hukum tadi.

Mendengar uraiannya, apalagi setelah mengumpulkan data lanjutan dari berbagai pihak yang terlibat proses pembentukan Perda Tata Nilai, kami dari tim riset Jaringan Advokasi Jawa Barat (JAJ), semakin jelas melihat sisi lain. Ada aspek tertentu yang memang tidak terjangkau oleh kajian legal dan desk review.

Permasalahan ini terbilang sensitif, sebab berhadapan dengan narasi keagamaan dan moralitas. Upaya kritisi atas aturan ini sering langsung berimbas resistensi. Seperti yang pernah dialami oleh beberapa lembaga dan peneliti yang menelaah Perda Tata Nilai, juga sejumlah tokoh yang mencoba bersuara kritis.

JAJ sejak awal telah berkomitmen bahwa yang diupayakan bukan sekedar penelitian, namun juga advokasi agar aturan tidak merugikan masyarakat, terutama kelompok yang rentan. Sehingga dalam upaya ini, keterlibatan semua stakeholder untuk bersama melihat permasalahan dan mencoba mengatasinya, adalah syarat yang harus dipenuhi. Walhasil, sejak merampungkan riset tentang latar dan proses pembentukan Perda Tata Nilai, serta legal review terkait potensi diskriminasi di dalamnya, JAJ merasakan kebutuhan yang amat besar dalam strategi advokasi berbasis riset. Tidak cukup untuk sekedar berkata: “Perda ini bermasalah secara konten, ini buktinya,” lalu bersuara mengkampanyekan itu menjadi ide yang umum…

Penggunaan RIA untuk Advokasi

Kebutuhan itu nampak beroleh titik terang, saat JAJ di tahun 2017, bermitra dengan The Asia Foundation untuk meneliti dampak terkini Perda Tata Nilai di Tasikmalaya. Penggunaan metode RIA (Regulatory Impact Assessment/Analysis), yang faktual, partisipatif serta terbuka untuk sejumlah alternatif, membuka peluang baru advokasi.

Tim Riset JAJ yang belajar metode RIA beroleh tambahan perspektif. Alih-alih sekedar menyerukan bahwa perda inkonstitusional atau diskriminatif – meski jalan ini juga bisa dan perlu ditempuh – ternyata ada hal yang bisa dilihat sebagai masalah bersama oleh semua stakeholder. Bukan hanya perlu ngotot pada satu tujuan, yaitu penghapusan atau revisi Perda, ternyata bisa memunculkan opsi lain untuk advokasi, yang mengurangi dampak negatif Perda pada kelompok yang rentan. Bukan dengan langsung bilang: “Ini masalah, lalu ini solusi yang paling tepat.”Tapi, membuat semua stakeholder melihat masalah bersama sehingga semua punya rasa kepemilikan. Begitu yang tim riset ingat saat belajar RIA. Itu pula yang kami rasakan di lapangan. Resistensi karena berasumsi bahwa tim kami adalah orang luar yang datang untuk tajam mengkritisi, perlahan luruh. Saat kami memulai dengan menggelar dua seri focussed group discussion (FGD) pada 2 November 2017 (satu untuk pemerintah dan satu untuk kelompok masyarakat) –sembilan orang dari perwakilan pemerintah kota bisa lebih terbuka mengakui sejumlah kekurangan terkait implementasi Perda.

(FGD pertama 2 November 2017)
(FGD pertama 2 November 2017)

Perspektif boleh tidak sama. Para pejabat daerah itu umumnya masih mengamini bahwa PerdaTata Nilai tetap diperlukan demi simbolisasi penguatan moral masyarakat. Namun, mereka terbuka untuk koreksi jika terbukti ada dampak negatif yang dirasakan oleh sejumlah kelompok.

Dalam diskusi terpisah dari kelompok masyarakat, JAJ mencatat adanya dampak yang merugikan dari implementasi Perda di terutama terkait monitoring dan evaluasi (Monev) ke usaha kecil menengah (baik secara umum maupun terutama di bidang fashion, kuliner dan hiburan), pengaturan pakaian perempuan bagi ASN dan siswi sekolah, serta munculnya eksklusi sosial terhadap minoritas agama dan gender.

Demi bisa menyajikan hal-hal tadi sebagai permasalahan yang dilihat bersama, Tim JAJ pun mendalami lagi temuan saat FGD. Diadakanlah serangkaian riset lanjutan dan indepth interview yang dikerjakan bersama LKAHAM Tasikmalaya selama April-Mei 2018. Penelitian ini terutama diarahkan kepada kelompok terkena dampak, yaitu kaum perempuan, pelaku usaha kecil menengah, ASN dan siswi sekolah. Permasalahan imbas implementasi Perda memang cukup beragam. Namun, kami melihat dampak di bidang pendidikan, yaitu munculnya eksklusi sosial di sekolah-sekolah umum sebagai imbas dari pelaksanaan Perda cukup besar, sekaligus sangat mungkin untuk diadvokasi. Berbeda dengan misalnya dampak di dunia usaha, dimana imbas negatifnya berkurang selepas tahun 2018 anggaran Pemkot untuk monitoring dan evaluasi ketempat-tempat usaha ditiadakan. Dalam hal ini metode RIA cukup membantu peneliti untuk memprioritaskan dan merumuskan masalah. Juga melihat manfaat dan biaya yang mungkin terjadi pada semua stakeholder saat dilakukan sejumlah langkah perubahan.

(FGD pada 6 Juni 2018 dengan stakeholder pendidikan)
(FGD pada 6 Juni 2018 dengan stakeholder pendidikan)

Tapi tentu saja, tidakboleh sekedar menyebut itu sebagai masalah, tanpa melibatkan yang lain. Keyakinan itu terkonfirmasi dalam FGD seri kedua yang digelar bersama stakeholder di bidang pendidikan. FGD yang berlangsung pada 6 Juni 2018 itu dihadiri 20 peserta yang mewakili Dinas Pendidikan, KPAID, sekolah-sekolah, PGRI, pemerhati pendidikan serta kelompok masyarakat.

Dalam forum tersebut, LKAHAM memaparkan temuan riset pada siswi-siswi sekolah yang mengalami bullying dan eksklusi sosial karena perbedaan agama.

Riset yang tim selenggarakan di enam sekolah dari berbagai tingkatan pendidikan ini mencatat ada siswi di tingkat SD yang mengalami trauma bullying dan eksklusi sosial karena pertama sekali pakaiannya berbeda. Penguatan identitas keagamaan Islam lewat berbagai kegiatan implementasi Perda Tata Nilai di bidang pendidikan (terkait pakaian serta maraknya kegiatan keagamaan) ternyata tidak dibarengi dengan tindakan yang menjamin inklusi sosial di sekolah.

Dampak signifikan paling dirasakan oleh siswi non-Muslim. Secara empiris ini juga berdampak pada berkurangnya pelajar non-Muslim di sekolah-sekolah negeri. Sejak 2014 terjadi penurunan jumlah siswa non-Muslim di sekolah negeri. Satu SMP dan satu SMA negeri mencatat, sebelumnya mereka mempunyai sekitar 10 orang siswanon Muslim, belakangan berkurang menjadi sekitar 2-4 orang saja.

Temuan ini menjadi catatan penting bagi pemerintah, Dinas Pendidikan, KPAID dan Kesbangpol, justru terbuka melihat itu sebagai permasalahan yang harus diatasi bersama. Lewat metode RIA pula, kami bersama-sama memilah opsi-opsi yang mungkin untuk mengatasinya serta manfaat dan biaya yang mungkin. Dalam FGD lanjutan yang digelar 30 Agustus 2018, pihak-pihak yang terkait diundang kembali. Mereka semakin mengerucutkan opsi untuk dibentuknya (a) mekanisme aduan dan evaluasi yang mengatasi permasalahan eksklusi sosial di sekolah, sekaligus (b) ditingkatkannya edukasi untuk menekankan inklusi sosial di sekolah. Sebagai langkah awal, peserta merekomendasikan pembentukan tim koordinasi yang mengajukan rekomendasi dan temuan proses penelitan RIA ini ke pemerintah kota.

Tentu saja, permasalahan terkait implementasi Perda Tata Nilai memang belum teratasi sepenuhnya. Namun, setidaknya di bidang pendidikan, ada titik terang untuk upaya perbaikan. Tantangan ke depan, tentu mengawal proses rekomendasi tersebut sebagai agenda bersama. RIA memang bukan jawaban tuntas, tapi perubahan paling terasa adalah dengan metode ini kerja penelitian dan advokasi justru beroleh jalan masuk yang lebih mulus untuk melihat permasalahan bersama. Kami mendapat tools lain yang membantu mengatasi mentoknya advokasi, karena sensitivitas peraturan bernuansa keagamaan dan moralitas.